18 April 2010

Saat Ibuku Sakit...

18 April 2010


Hari ini adalah hari yang paling akan kuingat seumur hidupku, dan pada hari inilah untuk SEKALI LAGI aku mengingat bahwa Tuhan selalu memberikan rencana indah dan bukan rancangan kecelakaan di dalam hidupku dan keluargaku.

Jadi, aku akan mulai bercerita tentang kepulanganku ke Tambun, Bekasi...

Hari itu panas, berawan, dan aku sampai ke rumah kakak keempatku pada pukul satu siang setelah sekian lamanya aku harus menunggu kereta jabotabekku mogok dan gagal berangkat. Aku masuk ke dalam rumahnya yang rindang itu kemudian aku beristirahat sebentar.


Aku tidak tahu sebenarnya apa maksud permintaannya padaku untuk datang ke rumahnya di akhir pekan itu. Jadi, setelah benar-benar merasa hommy barulah aku tahu apa maksud kehendaknya. Ia ingin menceritakan sesuatu...

Yuni mengambil napas dalam-dalam dan kemudian berkata,

"Ada yang harus kusampaikan padamu. Bisa jadi ini berita buruk, tapi tenang saja semuanya tidak apa-apa sekarang," katanya.

"Apa maksudmu?" tanyaku dalam, masih senyam-senyum tidak jelas.

"Ibu sakit. Kakinya patah."

Hening.

30 Maret 2010, adalah hari ketujuh sepeninggalan besan orangtuaku. Sebagai besan yang baik, ibuku harus berada di Ambarawa—tempat kakakku yang pertama tinggal bersama keluarga dan mertuanya—. Di hari itulah ibuku jatuh terpeleset di kamar karena genangan air yang berasal dari atap yang bocor akibat hujan semalam. Sejenak aku membayangkan bagaimana kejadian itu berlangsung, di mana saat ibuku terpeleset kakinya menendang tembok dan kemudian patah. Parahnya, tiada seorangpun yang tahu kejadian ini karena semua orang sibuk berada di dapur untuk menyiapkan makanan sampai 5 menit kemudian, keponakanku yang bernama Happy (anak dari kakak pertamaku) pulang dari sekolah dan mendapati neneknya (atau ibuku itu) jatuh terpeleset. Aku kembali membayangkan bagaimana keadaan saat itu yang sudah sangat ricuh, ditambah dengan kejadian ini, bagaimana Happy terpaksa berlari mencari tukang pijat di dekat rumah sedangkan yang lain berusaha menenangkan ibuku dengan memberi macam-macam obat dan pertolongan pertama. Yuni bilang saat itu Ibu terlihat pucat.

Sebenarnya Yuni dan keluarganya belum berada di Ambarawa saat itu, ia masih dalam perjalanan dari Yogyakarta menuju Ambarawa. Setelah sms aneh yang menerangkan yang kesemua smsnya bernada sama : SUDAH SAMPAI MANA? Ia tidak mendapati Ibuku dan kakakku di rumah ketika ia sampai karena waktu itu Ibuku sudah dilarikan ke tukang urut terdekat di SALATIGA.

Aku belum berhenti menangis sampai cerita ini, yang ada tangisku semakin menjadi-jadi.

Aku tidak bisa membayangkan ibuku dengan pergelangan kakinya yang terluka kemudian harus digotong ke angkot dengan segala kepayahan dalam perjalanan dari Ambarawa sampai Salatiga. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kesakitan yang luar biasa ketika suatu ketika mobil itu melewati jalanan yang curam, berliku, menanjak, dan berbatu. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana sakitnya itu.

Sesampainya di sana beliau harus menunggu untuk beberapa waktu sebelum pada akhirnya tukang urut handal itu datang dari kondangan, merawatnya, sampai kemudian dipastikan harus menginap selama 5 malam di Salatiga dengan kaki bengkak, kamar sel yang penuh dan lembab, serta ironisnya melewatkan Paskah tahun ini dengan terbaring sakit.

Bagian yang paling menyedihkan adalah hanya aku saja yang belum tahu akan hal ini. Semua anggota keluargaku bersekongkol dan berkonspirasi atas permintaan Ibuku agar mereka berjanji tidak memberitahuku kejadian ini. Dengan alasan waktunya belum pas, karena saat itu aku sedang berkonsentrasi dengan tugas-tugas kuliahku yang penat, ia tak ingin membuat pikiran putrinya ini menjadi kacau.

Jadi, pada hari inilah aku tahu kebenaran itu. Kebenaran dari sebuah kenyataan yang pahit bahwa aku tidak bisa berada di sana, di samping orangtuaku untuk menjaganya saat ia sakit, kebenaran bahwa selama ini mereka berpura-pura dan menjadikan realita ini seperti opera sabun dan menutupi kebohongan ini.

Aku menangis sampai tidak bersuara ketika aku mendapati ini semua. Air mataku mungkin sudah kering karenanya.

Aku tidak marah karena semua keluargaku berbohong tentang kondisi Ibu yang sebenarnya, yang mereka lakukan semata-mata demi kebaikanku juga. Aku hanya marah, muak, kesal, dan tidak berguna atas diriku sendiri. Jadi, selama ini aku tidak tahu, aku tidak bisa berbuat apa-apa, dan aku tidak bisa berada di sana untuk menemani orangtuaku. AKU ADALAH ANAK YANG TIDAK BERGUNA.

Di saat aku menelepon ibuku untuk mengatakan padanya bahwa aku sudah tahu semuanya, yang bisa kulakukan hanya menangis. Aku sangat kagum pada Ibuku yang masih begitu tegar dan di saat sakit seperti itu beliau masih bisa menghiburku dengan berkata bahwa dirinya baik-baik saja, sehat, dan berkata padaku untuk tidak terlalu mencemaskan dirinya.

Ya Tuhan, seberuntung itukah aku karena mendapatkan orangtua sebaik ini? Pantaskah aku mempunyai Ibu seorang malaikat seperti dirinya??

Aku mengingat-ingat ketika setiap pagi aku menelepon orangtuaku seperti biasa, yang kudengar dari mulutnya adalah KAMI SEHAT DAN BAIK-BAIK SAJA. Ibuku bahkan tidak mau aku mencemaskan beliau lagi karena ia sedang dalam masa pemulihan dan di bulan Juni nanti gips yang membalut kakinya itu akan dilepas dan ia akan sehat serta dapat berjalan kembali.

Melalui catatan ini aku ingin menyampaikan beberapa hal,

Pertama, aku merasa diriku tidak berguna. Kedua, aku bersyukur kepada Tuhan karena sangat mencintai keluarga kami dan memberikan kami cobaan di masa Pekan Suci menjelang Paskah tahun ini sehingga aku merasakan benar Paskah tahun ini sangat berharga bagi kami karena kami bisa saling mengasihi sekalipun dalam masa sakit dan pencobaan. Ketiga, aku bersyukur karena banyak sekali saudara dan teman yang sangat mencintai keluarga kami, merawat Ibuku, dan membantu kami semua dalam keadaan sulit. Keempat, aku merasa bersyukur karena mempunyai malaikat, dan malaikat yang dikirimkan Tuhan padaku adalah Ibuku sendiri. Kelima, aku menjadi ingin waktu cepat berganti sehingga aku bisa cepat pulang untuk menemui orangtuaku dan memeluk mereka eraaaattt...

I miss you so badly, Mom and Dad.

Get well soon, Mom. I really love you.

Sorry that I can't stand beside you, but I promise this summer I will go home as quick as I can.


Your daughter,

Siska.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar