Bapakku bernama Fransiskus Rahmadi. Orang-orang biasa menyebut dirinya Pak Di dan bapakku ini adalah seorang tukang cukur tradisional. Saat ini aku ingin menceritakan mengenai sosok Bapakku yang unik ini.
Setelah pensiun menjadi mandor di Pabrik Djarum Kudus, ia meneruskan pekerjaan Ayahnya (atau kakekku) menjadi seorang tukang cukur tradisional. Bisa dibilang kalau sosok kakekku sangat memoriable di lingkungan sekitar rumah kami karena cara memangkas rambut pelanggannya sangat khas dan disukai banyak orang. Beruntungnya, setelah kakekku ini meninggal, Bapak meneruskan pekerjaan leluhur keluarga kami yaitu menjadi seorang tukang cukur.
Dari kecil, dimulai dari masa aku bersekolah SD, SMP, sampai SMA, yang tidak pernah berubah dari Bapakku adalah kendaraan pribadinya. Keluarga kami tidak mempunyai mobil. Yang kami punyai hanya satu Vespa yang setia mengantarkan kami ke manapun. Keempat kakakku sudah meninggalkan Kudus dan hidup dengan keluarga dan pekerjaan mereka masing-masing. Jadi, jika dilihat secara kasat mata saja orang-orang pasti akan menyangka aku sebagai anak tunggal atau paling tidak sebagai cucu dari Bapak dan Ibu F. Rahmadi karena memang umur Bapak-Ibuku sudah bisa dibilang lanjut.
Saat masih kecil, aku selalu naik Vespa itu di depan dekat kemudi motor, bapak mengemudi, sedangkan Ibu duduk manis di belakang. Sangat manis. Kami pergi ke gereja bersama-sama dan kadang pulangnya malah tidak bersama-sama karena Vespa kami itu sering mogok sehingga aku sering pulang bersama Ibu naik becak sedangkan Bapak menuntun Vespa eksentriknya dari gereja sampai ke rumah atau bengkel terdekat.
Namun sayang, perjalanan tiap Vespa tidak pernah berjalan sampai abadi. Setengah tahun atau setahun sekali Bapak menjual Vespanya dan berganti ke Vespa lain yang diyakini lebih bagus atau “body”nya lebih oke namun dengan harga yang sama. Tahun demi tahun berlalu sampai pada akhirnya aku tumbuh tinggi besar dan tidak mungkin lagi duduk di depan seperti biasanya. Kalau sudah seperti ini, aku ingat benar bahwa si Bapak mulai membelikanku sepeda biasa sehingga ketika saatnya kami pergi ke gereja, Bapak-Ibu akan tetap naik Vespa, sedangkan aku seperti kambing congek mengayuh pedal sepeda ke mana-mana. Ha Ha Ha
Saat aku SD, Bapak selalu mengantarkan aku ke sekolah naik Vespanya dan pulangnya aku bisa naik becak sendiri bersama temanku yang bernama Yudith. Saat SMP, beliau tetap mengantarkan aku naik Vespa saat berangkat sekolah dan pulangnya aku naik angkot. Saat SMA malah lebih parah, ia mengantarkanku sekolah namun tidak memikirkan aku naik apa pulangnya karena ia pasrah saja anaknya diantar pulang naik tebengan orang lain. Hehehe…
Bapak adalah tipikal orang yang teliti dan kalau sudah menyayangi sesuatu, hmm… jangan tanya komitmennya dia sangat besar akan hal ini. Yang kubicarakan dalam hal ini tentu saja Vespanya. Dari mulai peralatan biasa sampai sparepart Vespa yang tak kumengerti, ia pasti punya dan dari setiap Vespa yang pernah ia miliki selalu dipasang Stiker Oneil, dan lampu kendaraan yang berwarna kuning terang. Itulah ciri khas dari si Bapak.
… dan kini ketika aku sudah tidak tinggal di Kudus dalam jangka waktu yang lama karena aku harus kuliah di Depok, dan sementara orangtuaku juga menyatakan ingin pindah dan lebih nyaman berkumpul bersama keluarga kakakku yang di Ambarawa, Vespa butut berwarna silvernya itu kini telah dijual karena tidak ada yang mengurusnya. Kini, yang tinggal sendiri di rumah adalah motorku yang sudah lama tidak kunaiki.
Jika Doraemon punya obat pengecil tubuh atau mesin waktu ingin rasanya aku kembali ke jaman SD dulu di mana aku biasa naik motor Vespa di depan di dekat kemudi Bapakku.
Hmmm… Really miss him and his Vespa soo much!!
Setelah pensiun menjadi mandor di Pabrik Djarum Kudus, ia meneruskan pekerjaan Ayahnya (atau kakekku) menjadi seorang tukang cukur tradisional. Bisa dibilang kalau sosok kakekku sangat memoriable di lingkungan sekitar rumah kami karena cara memangkas rambut pelanggannya sangat khas dan disukai banyak orang. Beruntungnya, setelah kakekku ini meninggal, Bapak meneruskan pekerjaan leluhur keluarga kami yaitu menjadi seorang tukang cukur.
Dari kecil, dimulai dari masa aku bersekolah SD, SMP, sampai SMA, yang tidak pernah berubah dari Bapakku adalah kendaraan pribadinya. Keluarga kami tidak mempunyai mobil. Yang kami punyai hanya satu Vespa yang setia mengantarkan kami ke manapun. Keempat kakakku sudah meninggalkan Kudus dan hidup dengan keluarga dan pekerjaan mereka masing-masing. Jadi, jika dilihat secara kasat mata saja orang-orang pasti akan menyangka aku sebagai anak tunggal atau paling tidak sebagai cucu dari Bapak dan Ibu F. Rahmadi karena memang umur Bapak-Ibuku sudah bisa dibilang lanjut.
Saat masih kecil, aku selalu naik Vespa itu di depan dekat kemudi motor, bapak mengemudi, sedangkan Ibu duduk manis di belakang. Sangat manis. Kami pergi ke gereja bersama-sama dan kadang pulangnya malah tidak bersama-sama karena Vespa kami itu sering mogok sehingga aku sering pulang bersama Ibu naik becak sedangkan Bapak menuntun Vespa eksentriknya dari gereja sampai ke rumah atau bengkel terdekat.
Namun sayang, perjalanan tiap Vespa tidak pernah berjalan sampai abadi. Setengah tahun atau setahun sekali Bapak menjual Vespanya dan berganti ke Vespa lain yang diyakini lebih bagus atau “body”nya lebih oke namun dengan harga yang sama. Tahun demi tahun berlalu sampai pada akhirnya aku tumbuh tinggi besar dan tidak mungkin lagi duduk di depan seperti biasanya. Kalau sudah seperti ini, aku ingat benar bahwa si Bapak mulai membelikanku sepeda biasa sehingga ketika saatnya kami pergi ke gereja, Bapak-Ibu akan tetap naik Vespa, sedangkan aku seperti kambing congek mengayuh pedal sepeda ke mana-mana. Ha Ha Ha
Saat aku SD, Bapak selalu mengantarkan aku ke sekolah naik Vespanya dan pulangnya aku bisa naik becak sendiri bersama temanku yang bernama Yudith. Saat SMP, beliau tetap mengantarkan aku naik Vespa saat berangkat sekolah dan pulangnya aku naik angkot. Saat SMA malah lebih parah, ia mengantarkanku sekolah namun tidak memikirkan aku naik apa pulangnya karena ia pasrah saja anaknya diantar pulang naik tebengan orang lain. Hehehe…
Bapak adalah tipikal orang yang teliti dan kalau sudah menyayangi sesuatu, hmm… jangan tanya komitmennya dia sangat besar akan hal ini. Yang kubicarakan dalam hal ini tentu saja Vespanya. Dari mulai peralatan biasa sampai sparepart Vespa yang tak kumengerti, ia pasti punya dan dari setiap Vespa yang pernah ia miliki selalu dipasang Stiker Oneil, dan lampu kendaraan yang berwarna kuning terang. Itulah ciri khas dari si Bapak.
… dan kini ketika aku sudah tidak tinggal di Kudus dalam jangka waktu yang lama karena aku harus kuliah di Depok, dan sementara orangtuaku juga menyatakan ingin pindah dan lebih nyaman berkumpul bersama keluarga kakakku yang di Ambarawa, Vespa butut berwarna silvernya itu kini telah dijual karena tidak ada yang mengurusnya. Kini, yang tinggal sendiri di rumah adalah motorku yang sudah lama tidak kunaiki.
Jika Doraemon punya obat pengecil tubuh atau mesin waktu ingin rasanya aku kembali ke jaman SD dulu di mana aku biasa naik motor Vespa di depan di dekat kemudi Bapakku.
Hmmm… Really miss him and his Vespa soo much!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar