Pagi ini gue nggak sengaja, nggak ada rencana buat telepon keponakan gue yang paling tua. Namanya Natalia. Gue biasa panggil dia Natt, dan umur kami sebenarnya nggak jauh berbeda. Saat ini ia duduk di bangku SMA jurusan IPA di SMA Sedes Sapientiae Bedono, Ambarawa. Sudah cukup lama nggak bersua, dan entah mengapa aku berkeinginan untuk meneleponnya hari ini.
Oke, kabar baik yang kuterima darinya adalah bahwa ia telah resmi jadian dengan seseorang yang kutahu sudah sejak lama ia sukai. Nama pacarnya itu Abed. Sejak aku duduk di SMA kelas tiga dan dia duduk di SMA kelas satu, aku tahu bahwa dirinya sangat mengagumi cowok yang bernama Abed itu. Jungkir balik di mabuk cinta, sampai akhirnya jatuh ke dalam perapian yang hebat karena saat itu Abed malah jadian dengan sahabat Natt sendiri. Aku tahu bagaimana perasaannya saat itu, yang benar-benar terpukul dan di hari-hari berikutnya tak tampak sebatang senyum lebar yang biasa kulihat. Namun kini, ketika kutelepon pagi ini aku bisa mendengar dan merasakan tawa dan senyum renyah dari Natt. Satu setengah tahun adalah waktu yang cukup lama untuk menunggu seseorang. SATU SETENGAH TAHUN, untuk membuatnya yakin bahwa dia benar-benar setia. Tak tergantikan, bukan main...
Aku senang bercampur kaget ketika aku mendengar kabar ini. Namun, ada bagian di mana aku merasa sangat tertohok mengetahui kenyataan ini. Natt lebih sabar daripada aku.
Sejak saat itu, aku tahu apa yang terjadi. Rencana Tuhan sedang mulai bekerja di dalam hidupku...
Malamnya, aku tidak bisa tidur. Aku memikirkan banyak hal. Pikiranku terganggu oleh satu nama yang belakangan ini sangat menyita perhatianku. Saat ini aku berada di persimpangan jalan. Aku bingung, kehilangan arah, dan aku tidak tahu harus bertanya kepada siapa. Di dalam hatiku hanya ada dua pilihan: Pertama, apakah aku harus menunggunya? Apakah aku mampu untuk bertahan? Apakah aku mampu untuk menyayanginya tanpa mengharapkan balasan? Apakah aku mampu untuk tetap memikirkannya, walaupun nun jauh di sana aku tahu dia tak pernah memikirkanku?
atau pilihan yang kedua: Apakah yang aku cari? Seberapa pentingkah dirinya sehingga harus kupertahankan?
Maju atau mundur?
Aku tahu, saat aku menelepon Natt pagi itu, aku punya satu jawaban yang pasti yang boleh Tuhan tunjukkan padaku.
Aku menyimpan jawaban itu dalam hati. Terkunci.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar