3 Desember 2009

Pelajaran Hidup Berharga Dari Bapak Tua di Tepi Jalan

Hampir empat jam aku mengurung diri malam ini untuk belajar Pengantar Ilmu Politik dan Pengantar Ilmu sosiologi untuk bahan kuis kecil besok pagi. Tapi tak ada satupun yang menyangkut di otakku. Ahhh, aku nggak bisa konsentrasi penuh sekarang. Ada apa sih sama aku ini... Kayak bukan aku...
Aku sudah mencoba segala cara, namun yang ada aku malah tertarik oleh medan magnet godaan-godaan yang menghabiskan tenaga dan waktuku. Intinya selama empat jam ini aku malah main-main tak jelas.
Dasar pemalas!
Oyah, aku mau bercerita tentang pengalaman yang menyentuh hatiku tadi siang, 2 Desember 2009...
Saat itu aku berjalan ke arah Kober. Aku menemani Dikara Kirana yang akan mencari souvenir untuk kakak seniornya untuk wawancara alumni besok pagi. Di situ aku menjumpai seorang kakek yang tua, ringkih dan ia sedang duduk di pinggir jalan. Kemungkinan ia berumur 65-70 tahun. Kulihat di sana-sini ada banyak uban. Seketika air mataku menetes. Aku sangat trenyuh dengan kondisi bapak tua yang rentan ini. Ia memakai baju lusuh berwarna hijau tua, dan ia memakai topi rotan yang agak bolong-bolong, serta di tangannya ia memegang seruling dan sewaktu aku berjalan di situ aku mendengar alunan musik sunda tradisional yang membuatku merasa pilu. Kulihat di depannya, tak ada satupun koin maupun uang kertas yang ada di kotak kecil yang ia taruh di depan tubuhnya itu. Sambil terus memainkan musik itu dengan sepenuh hati, bapak itu tetap mencoba untuk tetap bertahan duduk padahal di salah satu kakinya kulihat tak ada. Ia duduk di atas kuk kayunya itu. Bapak itu (maaf) buntung.
Kurogoh lembaran uang di sakuku. Aku tak tahan melihatnya. Mengapa bapak tua seperti itu masih harus bekerja di saat usianya sudah mulai menua, di saat kondisinya sangat rentan. Di mana anak-anaknya sekarang? Mengapa ia membiarkan orangtua yang ringkih itu bekerja di jalanan yang berdebu, becek, dan padahal tak ada satupun koin yang menghampirinya...?
Tiba-tiba aku teringat orangtuaku. Aku bersyukur masih punya kedua orangtua yang lengkap, sehat, dan keluargaku tak kekurangan suatu apa. Di saat itu juga aku bertekad dan berjanji pada diriku ini, bahwa suatu saat nanti dengan tenaga dan keringatku sendiri aku akan membahagiakan kedua orangtuaku, dan tak akan kubiarkan orangtuaku mengalami penderitaan di masa tuanya.
Namun, demikian aku juga sangat malu pada diriku. Aku malu karena sering sekali menghambur-hamburkan uang untuk membeli barang yang tidak penting, tidak berguna, dan kugunakan untuk kesenangan sesaatku. Aku getir melihat bapak tua ini yang sudah separuh hari di panas yang terik ini masih bersemangat meniupkan alunan musik sundanya agar bisa mendapatkan uang untuk membeli sesuap nasi...
Aku malu pada diriku ini. Malu.

Mulai sekarang, aku akan mulai peduli kepada orang-orang di sekitarku yang kurang beruntung. Mulai saat ini aku tidak bersikap boros dan tidak menggunakan uangku untuk membeli barang yang tidak penting.
Aku akan setia mendengarkan alunan musikmu pak, terima kasih karena hari ini engkau telah mengubahku menjadi pribadi yang baru yang penuh dengan syukur...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar